Fibre Reactive
Dalam keseharian kita,
cendawan sudah banyak kita temui sebagai bahan pangan maupun sebagai obat.
Namun, cendawan yang satu ini dibuat menjadi sebuah inovasi dalam industri
pakaian oleh Donna Franklin pada tahun 2004. Pakaian yang dinamakan “Fibre Reactive” ini terbuat dari fungi Pycnoporus coccineus. Fungi ini akan
menghasilkan warna oranye sebagai respon adaptasi. Agar fungi dapat hidup pada
pakaian tersebut dan mengeluarkan warna oranye, maka pakaian tersebut memiliki
nutrisi yang merupakan hasil replikasi dari kondisi nutrisi lingkungan yang
dibutuhkan P. coccineus. Ungkapan Franklin setelah
mengenakan Fiber Reactive yang
bertekstur seperti kulit,”Rasanya dingin dan benar-benar solid, seperti baju
besi.”. Gaun ini disimpan di RMIT Gallery.
Micro’be’
Manfaat
dari red wine atau anggur merah sudah
banyak kita ketahui, tetapi siapa sangka anggur merah ini dapat disulap menjadi
sebuah pakaian. Baru-baru ini seorang ilmuwan, Garry Cass terinspirasi dengan
adanya lapisan tipis pada tong fermentasi anggur yang di dalamnya terkontaminasi
Acetobacter yang merupakan bakteri
penghasil selulosa. Kemudian Cass bekerja sama dengan seorang seniman, Donna
Franklin, sang pembuat Fibre Reactive,
mengubah alkohol menjadi kain selulosa dengan menggunakan Acetobacter. Caranya adalah dengan menuangkan dan membungkusnya
pada cetakan berbentuk tubuh manusia. Hasilnya selulosa tersebut melekat pada
tubuh dan tidak dijahit sama sekali. Penelitian ini dilakukan bersama dengan
para penelitian lain dari University of
Western Australia.
Tak hanya
dari anggur merah, tetapi mereka sukses membuat pakaian dengan fermentasi dari
anggur putih dan bir seperti Guinness. Seluruh pakaian ini memiliki aroma dan
warna alami dari minuman fermentasi tersebut. Kain atau pakaian yang dinamakan
“Micro’be’” ini memiliki keunggulan yaitu ramah lingkungan (mudah terdegradasi)
dan karena pakaian ini tidak perlu dijahit, maka dapat menekan biaya produksi.
Sayangnya, masih banyak pengembangan yang harus dilakukan dalam penelitian ini
karena ternyata pakaian dari anggur merah ini tidak fleksibel. Pertanyaan pun
muncul,”Bagaimana saya dapat memakainya?” lalu ada apakah kita akan tahan
dengan aroma wine sepanjang hari?
Tetapi Cass dan Franklin optimis bahwa kain ini dapat berhasil dipasarkan.
QMilch
Ide unik lainnya muncul dari
seorang fashion designer muda asal
Jerman, Anke Domaske pada tahun 2011.
Domaske berhasil mengembangkan kain dari protein susu (kasein). Kain ini
sehalus sutra dan tidak berbau. Keuntungan dari kain ini adalah ecological friendly karena dibuat dari
bahan-bahan alami. Sebenarnya kain dari susu telah ada sejak tahun 1930-an
tetapi dibuat dengan cara yang tidak ramah lingkungan (menggunakan banyak bahan
kimia berbahaya).
QMilch dibuat dari kasein yang diekstrak dari bubuk
susu kering dan kemudian dipanaskan dalam
meat-mincing machine dengan bahan alami lainnya. Serat yang keluar berupa
benang. Dibutuhkan 6 liter susu untuk menghasilkan 1 buah baju seharga 150
sampai 200 euro atau setara dengan Rp 1.990.000.
Tidask seperti susu biasanya, baju ini tidak memiliki
masa kadar luarsa karena selama proses pemanasan, molukel-molekul berikatan
satu sama lain sehingga protein tidak terdekomposisi. (WMG)
No comments:
Post a Comment